Leader

Leader: Bukan tentang Saya

Salah satu hal yang hebat dalam memimpin tim adalah kita membawa sesuatu yang berbeda ke dalam budaya yang lama. Beberapa artikel yang sering saya baca biasanya memberikan berbagai faktor yang penting dalam memimpin seperti integritas dan pengaruh kepada tim melalui komunikasi yang efektif. Kedua hal tersebut sangat dibutuhkan oleh seseorang untuk menjadi pemimpin hebat. Namun, saya ingin membagi sesuatu yang juga penting dan bisa membuat kita berbeda dari pemimpin yang lainnya – meletakan tim di atas diri kita sendiri.

Saya harus mengakui bahwa pengalaman pertama saya sebagai seorang pemimpin sangatlah kaku. Semua orang di kantor menghormati saya karena jabatan yang saya miliki. Namun, saat terjadi masalah pengalaman saya sebagai ketua organisasi di kampus belum cukup untuk bisa menghandle tim di kantor. Saya mewajibkan tim saya untuk mengikuti procedure standar tanpa melihat dan mengetahui masalah nyata di lapangan. Belum lagi dengan motivasi tim yang menurun karena penjualan yang sulit di Bulan Februari kemarin. Akibatnya, performa tim saya menurun dan hampir saja tidak mencapai target.

Saya beruntung karena memiliki banyak mentor dan pemimpin yang peduli kepada saya. Mereka menegur saya dan memberikan saya nasihat dan masukan tentang perilaku saya. Sebagai seorang pemimpin, kita harus mampu memberikan support dan feedback kepada anggota tim kita yang tidak sedang dalam kondisi terbaiknya. Jangan sampai saat performanya yang sedang buruk, kita sebagai pemimpin malah menekan dia dan menyakiti dirinya.

Saya melihat bahwa beberapa orang terlahir sebagai pemimpin. Ada juga yang belajar dari pengalamannya sehari-hari untuk menjadi pemimpin hebat. Salah satu pelajaran yang saya sadari adalah memimpin itu bukan tentang saya. Kemudian, saya mencoba merubah pola pikir saya dari tadinya fokus kepada diri saya menjadi fokus kepada tim. Dari situlah pola pemimpin terbentuk. Guru dan pemimpin saya, Bapak Randolf Simangunsong pernah berkata bahwa

“pemimpin adalah seseorang yang bisa mentransfer kemampuannya kepada tim, membagi visi dia kepada tim, dan selalu hadir dalam setiap prosesnya. “

Dengan kata lain, kita membuat tim kita kemampuannya setara kita atau lebih. Kita menciptakan pemimpin yang lain dari tim kita.

Saya ingin membagi beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menjadi pemimpin yang fokus pada tim:

  1. Lihat tim sebagai asset terbesar dalam kesuksesan kita. Pemimpin yang hebat membantu anggota timnya. Fokus kita adalah mengembangkan mereka, membantu mereka sukses, dan melihat mereka tumbuh menjadi orang yang mereka inginkan. Saat tim kita berhasil, itu adalah refleksi dari kita sebagai pemimpin mereka.
  2. Akui dan Apresiasi Tim. Setiap orang ingin dihargai. Sebagai pemimpin, kita harus memberi tim kita penghargaan dan pengakuan atas hal-hal hebat yang mereka lakukan. Salah satu anggota tim bisa meninggalkan pekerjaannya karena merasa tidak dihargai. Seorang pemimpin tidak boleh mengambil kredit atas pekerjaan yang anggota timnya lakukan. Pemimpin yang hebat adalah pemimpin yang murah hati dan mengakui anak buah. Saat hal-hal hebat selalu kita akui sebagai pencapaian anggota tim, hal itu bisa menjadi budaya di tempat kita bekerja. Saat anggota lain melihat hasil jerih payah temannya diakui, dia akan merasa termotivasi untuk melakukan hal yang sama. Setiap anggota tim akan bekerja lebih keras untuk menjadi orang selanjutnya yang mendapat penghargaan dari kita.
  3. Mengenal anggota tim. Tidak hanya nama atau posisi anggota tim, kita juga harus mengenal lebih jauh tentang mereka. Apakah mereka sudah memiliki anak? Apakah kita tahu dari mana mereka berasal? Apakah kita tahu apa yang mereka lakukan sebelum bekerja bersama kita? Yang paling penting, apakah kita tahu harapan dan mimpi mereka bekerja di sini? Mengetahui lebih dalam diri anggota tim akan membuat mereka merasa lebih dihargai dan menambah respect mereka kepada kita sebagai seorang pemimpin.
  4. Tinggalkan ego. Anggota tim kita harus lebih baik daripada kita. Pada saatnya akan ada anggota tim yang meraih banyak penghargaan. Mereka bisa saja sekolah lagi, mendapat sertifikat, atau meraih promosi jabatan. Salah satu hadiah yang didapat oleh seorang pemimpin adalah memiliki anggota tim yang keluar dan mendapat kesempatan lebih baik di luar sana.
  5. Berikan wewenang kepada anggota tim. Setiap orang ingin dipercaya untuk membuat keputusan. Berikan wewenang kepada tim untuk menentukan sendiri suatu keputusan. Jangan menyudutkan anggota tim mu dengan memberikan keputusan yang sulit. Biarkan mereka membuat jalan sendiri dalam pengambilan keputusan sehingga mereka bisa belajar dari kesalahan. Saat keputusan yang mereka ambil tepat, mereka bisa terlihat lebih bersinar dan sukses.

Setiap orang dalam tim berhak mendapat pengakuan. Setiap orang memiliki peran penting untuk menjaga roda perusahaan tetap berjalan. Saat kita berhasil meletakan kepentingan tim di atas segalanya, kita bisa menjadi pemimpin hebat dan lebih baik dari yang lain.

Cerita: Bagaimana Saya Bisa Bekerja Di Sini

Saya masih ingat tepat bulan Agustus tahun 2017, saya kehilangan pekerjaan pertama saya setelah bekerja selama 6 bulan. Pertama kali masuk ke sebuah perusahaan multinasional FMCG di bulan Februari 2017 membuat saya senang, bersyukur, dan bangga, tetapi bulan Agustus merupakan mimpi terburuk yang pernah saya alami.

Rasanya sedih, kecewa, dan tidak menyangka. Keputusan dari perusahaan dilakukan secara tiba-tiba. Dan parahnya ada tiga orang di tempat saya yang juga dinyatakan tidak bisa melanjutkan pekerjaan. Dadakan saja malam itu, kami bertiga membuat acara perpisahan dengan tim. Tim yang saya kenal enam bulan, tetapi saya sudah anggap sebagai keluarga sendiri. Di akhir bulan, kami harus berpisah dan kembali ke rumah masing-masing.

Ada seseorang yang saya kira kontribusinya sangat besar saat saya berada di perusahaan itu. Namanya Mumtaq Iqbal. Beliau adalah Team Leader untuk divisi yang berbeda, tetapi beliau sudah kami anggap seperti guru dan mentor. Usianya lebih muda daripada saya, tetapi cara berfikirnya luar biasa. Saat saya akan meninggalkan distributor bertolak pulang ke Bandung saya masih ingat kata-kata Bang Iqbal (panggilan yang kerap saya berikan).

“Tenang aja Fan, masih banyak kesempatan yang lebih hebat yang menunggu lo di luar sana.”

Kalimat itu kemudian dilanjutkan dengan cerita pacarnya yang dulu juga bekerja di perusahaan yang sama tetapi kemudian tidak bisa melanjutkan. Walaupun begitu, sekarang dia sudah bekerja di sebuah perusahaan startup yang perkembanganya luar biasa dengan benefit yang lebih dari sebelumnya. Cerita itu, entah kenapa, selalu terngiang-ngiang di kepala saya dan ternyata menjadi kenyataan!

Mungkin teman-teman juga pernah merasakan hal yang serupa, sambil menunggu kesempatan kerja datang, tidak ada salahnya mencoba hal yang saya lakukan ini;

  1. Meninggalkan sejenak semua hal tentang pekerjaan. Awalnya memang sulit karena biasanya kita sudah bangun pagi, mandi, dan pergi bekerja. Kemudian waktu itu, kita tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tenang. Coba tarik nafas dalam-dalam. Ambil pena dan kertas. Kemudian, tuliskan hal-hal apa saja yang belum pernah kamu lakukan dan bisa dilakukan sekarang.
  2. Hubungi keluarga dan teman-teman yang sudah lama tidak kita jumpai. Dulu kita tidak sempat ketemu dengan sanak saudara yang di kampung atau teman-teman sekolah karena sibuk bekerja. Ayok luangkan sejenak untuk ketemu mereka. Pererat tali silaturahmimu. Dengan bertemu dan saling berbicara secara langsung banyak hikmah dan ilmu yang bisa kita dapatkan.
  3. Lanjutkan hobi yang tertunda. Jangan menunggu-nunggu lagi. Sudah lama kamu tidak menulis, membaca, berenang, atau travelling? Saya coba melanjutkan kegemaran saya menulis dan mulai membangun sebuah blog dengan uang gaji dari perusahaan sebelumnya. Tujuannya adalah meningkatkan kemampuan di hobi yang kamu suka. Besar kemungkinkan saat kamu sudah handal dalam bidang yang kamu suka, akan muncul kesempatan bekerja yang sesuai dengan hobi kita.
  4. Mulai review kembali profil diri di situs mencari kerja. Setelah sudah tenang dengan kenyataan yang kita terima, mari mulai membangun ulang profil kita di situs pencari kerja. Perbaharui profil di Linkedin kamu. Tambah koneksi. Buat rekomendasi untuk teman-teman kamu di tempat kerja sebelumnya, Tunjukan bahwa mereka menjadi bagian penting dalam perkembangan kita. Profil tersebut nanti bisa di copy-paste ke situs pencari kerja lokal seperti jobstreet, jobsid, karir.com. dll. Hal yang penting adalah profil kita harus jelas, jujur, dan positif agar tawaran pekerjaan yang muncul cocok dengan kita.
  5. Jangan lupa berdoa. Setelah kita sudah banyak usaha, jangan lupa untuk berdoa. Bagi kamu yang muslim, laksanakan shalat wajib dan shalat tahajud, puasa Senin-Kamis, dan minta doa restu dari orang tua :).

Hasilnya, tiga bulan kemudian, Ibu Febby HR dari Unilever menghubungi saya dan menawarkan pekerjaan yang nama posisinya mirip dengan perusahaan sebelumnya, tetapi tanggung jawabnya lebih tinggi dan benefitnya luar biasa. Setelah menjalani proses seleksi yang ketat dan singkat, alhamdulilah saya lulus dan diterima di Unilever. Hal yang saya syukuri adalah proses rekruitment yang sangat fokus kepada calon pegawai. Semua calon difasilitasi dengan uang transport, makan siang, cemilan, dll. Baiknya cara Unilever merekrut pegawai menjadi refleksi atas kebijakan Unilever kepada karyawanya sendiri.

Kini, saya sudah tiga tahun di Unilever dan belajar lebih banyak dari sebelumnya. Saya masih terus berkomunikasi dengan teman-teman di perusahaan sebelumnya terutama dengan Bang Iqbal. Kami pernah bertemu di Jogja dan membicarakan banyak hal tentang bisnis.

Apakah kamu punya pengalaman yang serupa? Tulis koment di bawah ya. Bagi yang ingin berbincang hangat mengenai pengalaman pindah kerja, saya terbuka untuk sharing dan belajar lebih banyak tentang kalian. Selamat belajar dan bekerja :).

How to Motivate Your Employee without Being A Boss

This story took in 2018. I was assigned by my mentor to lead a team selling ice cream in Car Free Day at Central Park Klaten as a part of activity program in the company. My mentor was taught me to create a team by myself.

So here was the problem. I should sell our ice cream in Sunday because in routine day there were not enough people to handle the selling. What my best way to enlist my staff of 6 people and maybe a few others, in their holiday? The task is something we did in routine: The people participating must take the cabinet in the concess and bring it to the Central Park together with ice cream, balloon, shop blind, range card, paddle pop clown, and tent. After that, we should start selling from 06.00 AM to 9.00 AM before the event ended. Two steps none of them notably interesting.

One managerial option is by force. If I am the boss, I could force people to spend their Sunday on this mind numbing project. They might follow me, but the damage to their morale and long term commitment could be major. Another option is to ask for volunteers. However, I understand: most people can think of far better ways to spend a Sunday especially them who have family.

So in this case, an if-then reward could be effective. What I do was, I promise a party (makan bareng) for everybody who join in the project. And I pay them based on our profit for selling the ice cream in the hope that two of it will boost their productivity.

Because the work not requires deep thinking or inspires deep passion so that such real reward will not undermine intrinsic motivation and creativity. Then, I try to increase my chance of success by supplementing the selling-packing reward with three important practices:

  • I offer a rationale for why selling ice cream in Car Free Day is necessary. A job that’s not inherently interesting can become more meaningful, and therefore more engaging, if it’s part of a larger purpose. I explain why our ice cream is so important and why selling it out now is critical to our organization’s mission.
  • I acknowledge that selling on Sunday on the morning could be boring. Of course, this is an act of empathy. And the acknowledgment will help my team understand why this is the rare instance when if-then rewards are part of how my organization operates.

One of our purposes selling ice cream is to bring smile and happiness to our customers 🙂

  • I allow people to complete the task their own way . Think autonomy, not control. I state the outcome I need. But instead of specifying precisely the way to reach it how each ice cream must be sold and how we engage the customer, I give them freedom over how they do the job.

In the end, the selling out was great and we got a lot of smile on our customer that day. What a great experience! Do you have any similar experience? Share yours.

Tiga Alasan Kenapa Millennial Leaders Harus Baca Buku

Banyak penulis artikel sudah berbicara banyak tentang generasi millenials. Tidak semuanya bernada positif terutama yang berhubungan dengan lapangan pekerjaan. Sebuah artikel dari Gallup misalnya, mensurvey sikap generasi millennial terhadap pekerjaan. Hasilnya 60% dari generasi millennial mau untuk pindah kerja jika ada pekerjaan lain yang lebih menarik. Hanya 29% yang serius di pekerjaannya. Serius di sini artinya dia secara sadar mengerti tujuan perusahaan dan bekerja karena tujuan itu. Sedangkan, 15% lainnya menjadi benalu bagi perusahaanya sendiri.

Melihat fakta di atas, tidak heran generasi millennial sekarang mulai mendirikan bisnis mereka sendiri. Presentasenya lebih besar dan lebih dini daripada generasi-generasi sebelumnya. Walaupun begitu, mereka mampu memanage pegawai dalam jumlah yang besar. Berdasarkan hasil survey dari BNP Paribas “Millennipreneurs [are] going faster: Under 35s are creating more companies, with higher headcount and greater profit ambitions. They show strong interest in the new economy, but not exclusively!.”

Masalahnya adalah banyak dari leader muda di perusahaan multinasional yang masuk melalui program Management Trainee yang jungkir balik (kesulitan) membangun komunikasi dengan tim mereka terutama dengan pegawai yang lebih tua. Mereka baru lulus kuliah atau bekerja minimal 1 tahun, tetapi sudah berada di level 1 management. Di usia yang muda dan pengalaman yang belum matang, mereka harus membuat standar operasional prosedur yang effisien agar bisa mengarahkan perusahaan ke arah yang tepat (growth in sales!).

Bagaimana caranya? Sebuah pembuka kalimat dari artikel di Guardian mungkin bisa memberi kita sedikit petunjuk;

“Literature may not have the answers to the challenges of sustainability or economic crises but it can bring a fresh perspective, especially when it comes to people matters.”

Generasi millenial sangat kurang termotivasi dalam hal mengejar target penjualan padahal profit selalu menjadi fokus dari perusahaan-perusahaan sekarang. Bagi generasi millennial, pencapaian itu harus menjadi value dan memiliki impact yang besar bagi perusahaan.

Membaca buku baik berbentuk filosofi, buku sejarah, dan karya sastra (terutama yang berhubungan dengan social science) akan menolong leader muda untuk mendefinisikan diri mereka sendiri dan perusahaannya (di tempat bekerja atau perusahaan sendiri). Dengan begitu, mereka bisa membangun sebuah visi dan misi yang baru (fresh) untuk memberikan dampak positif yang berkelanjutan kepada perusahaan.

Bila kamu adalah generasi millennial dan leader masa depan atau punya sedang bergerak menuju ke sana. Ada beberapa hal yang bisa kamu perhatikan;

  1. Mencari Makna Hidup dan Pekerjaan Kamu

Uang memang bisa menyediakan keamanan. Kamu bisa membeli barang mahal dengan uang atau mendapatkan pengalaman baru dengan jalan-jalan ke tempat-tempat keren dalam dan luar negeri. Uang sangat sering digunakan sebagai parameter “sukses” seseorang. Tidak heran bila kita bertemu keluarga saat lebaran pekerjaan menjadi hal yang sering ditanyakan dan menjadi tolak ukur. Bila kamu sudah punya pekerjaan, nama perusahaan dan gaji menjadi tolak ukur selanjutnya. Namun, akhirnya kita semua akan meninggal dan bila kita hanya mengumpulkan uang selama di dunia, buat apa hidup ini semua?

“Gue melihat orang yang bekerja kantoran tapi nggak sesuai dengan minat mereka itu seperti seekor ubur-ubur lembur. Lemah, lunglai, hanya hidup mengikuti arus.”  ―  Raditya Dika,  Ubur-ubur Lembur

Coba bayangkan bila uang tidak punya nilai jual beli. Kamu ngak bisa memakan uang saat lapar. Bentuknya ngak sebagus mainan figure. Uang tidak bisa melindungi kita dari serangan peluru. Daya tahannya pun sangat kurang; mudah terbakar, basah, dan lecek. Bila tujuanmu adalah hanya menjadi kaya, nantinya kamu akan menyadari bahwa usahamu sia-sia, tenggelam dalam keputusaan, mirip seperti tragedy di film titanic. Jangan sampai kamu baru sadar setelah tua nanti.

(Baca JugaLeader: Bukan Tentang Saya)

Kita bisa belajar tidak menyianyiakan hidup dengan cara melihat leader teladan di perusahaan kita atau baca cerita tokoh leader yang inspiratif–bagaimana mereka membuat dunia ini menjadi lebih baik, cara mereka berkontribusi kepada masyarakat, berani mengambil langkah perubahan, dll- agar kita sebagai leader masa depan bisa fokus mencari hal yang lebih hebat selain uang di dalam hidup dan pekerjaan kita.

2. Meningkatkan Kemampuan Problem-Solving dan Decision-Making

Seorang Psikologis, Daniel Kahneman menerbitkan sebuah buku berjudul Thinking, Fast, and Slow yang isinya lebih condong kepada filosofi daripada psikologis. Di dalamnya Daniel berhasil mengupas bagaimana manusia membuat keputusan dan menyelesaikan masalah terutama ketika berurusan dengan bidang bisnis dan peraturan pemerintah. Dengan mengerti tentang bagaimana sistem manusia bekerja dalam menyelesaikan masalah, leader muda bisa lebih baik dalam memimpin timnya. Dengan begitu, kita bisa memberikan efek yang nyata dan luas kepada semua tim. Buku ini berhasil membuat Daniel memenangkan Nobel Prize dalam bidang economic science di tahun 2002.

(Baca Juga: How to Motivate Your Employee Without Being A Bos).

3. Membentuk Visi yang Jelas dan Membawa Generasi yang Lain Ikut Serta

Kita sebagai leader hari ini perlu menggali lebih dalam ke dasar motivasi perusahaan kita. Di sana kita harus menemukan visi perusahaan yang mampu menarik dan merangkul generasi millennial lainnya. Kita harus mampu membuat generasi millennial lainnya sebagai bagian dari visi kita, membuat mereka tertarik tentang prospek kerja di masa depan, membawa perubahan yang baik, dan berkontribusi terhadap tujuan yang lebih besar (greater than outselves).

“Sometimes, there is a lot of darkness in this world. As I see it, you have two choices. You can be a part of that darkness or you can be the light. Be the light.” ―  Tom Giaquinto

Membaca buku bertopik humanity dapat membuka mata kita semua dan membuat kita berpikir tentang visi yang lebih besar yang bisa kita raih di dunia. Mengidentifikasi visi itu, merangkainya ke dalam berbagai kerangka action plan, dan mengkolaborasikan semua plan itu di lingkungan kerja akan membuat lingkungan kerja yang menyenangkan, terarah, dan bermakna bagi seluruh pegawai.

(Baca JugaCerita: Bagaimana Saya Bisa Bekerja Di Sini).

Kesimpulannya, seorang leader muda tidak harus berpikir melulu tentang filosofi hidup. Sebuah bisnis tetaplah sebuah bisnis. Ada aktivitas awal-akhir yang harus dipenuhi; bikin plan, promo marketing, monitoring operation, dll – hal dasar yang harus terpenuhi setiap harinya.

Walaupun begitu, semua aktivitas bisnis di atas harus dilengkapi dengan visi yang lebih besar – visi hebat menarik yang kita lihat sebagai tujuan akhir perusahaan kita. Dan semua pegawai sadar dan ingin menjadi bagian dalam visi besar itu. Semua penting dan semua memiliki perannya masing-masing. Bila kamu bisa meraih ini semua, dimanapun kamu bekerja, kamu adalah leader yang keren!

(Sebelum masa Covid-19)

” Leadership is the capacity to translate vision into reality. —Warren Bennis”

Perubahan dan Bagaimana Leader Berubah di masa Covid-19

Pandemic Covid-19 membuat saya sadar bahwa seberapa baik kita hidup, perubahan yang tiba-tiba akan terjadi dan mengganti apapun yang ada terutama pekerjaan, perekonomian, dan cara kita berinteraksi. Seperti contoh, akibat adanya larangan keluar rumah, sekarang banyak orang yang lebih memilih masak di rumah saja (hampir 50% versi Nielsen). Di sisi positif, beberapa bahan makanan pokok mengalami pertumbuhan penjualan, tetapi di sisi yang lain, penjualan rumah makan dan restaurant mengalami penurunan yang cukup drastis. Jika kamu bekerja di sector makanan cepat saji tentunya perubahan ini adalah masa-masa yang sangat sulit.

Perilaku-Konsumen-Mencari-Informasi-Terkait-COVID-19
Sumber: Nielsen

Pertanyaannya bagaimana kita sebagai manusia menghadapi perubahaan seperti ini? Menghadapi perubahaan adalah skill yang bisa dipelajari. Skill ini membuat kita mulai melihat perubahan dalam gambar yang lebih besar. Setelah itu, kita bisa mulai memilih sudut pandang mana yang membuat perubahaan lebih mudah untuk dimanage.

1. Ganti mindset menjadi growth mindset

Well, saya merasa saat ada sesuatu yang berubah dalam hidup, saya merasa tidak nyaman karena sudah terbiasa dengan rutinitas yang sudah ada. Contohnya, sejak Maret perusahaan tempat saya bekerja sudah melarang karyawannya untuk pergi ke kantor/distributor agar mengurangi potensi terkena wabah Covid-19. Akibatnya, lebih sulit mendrive team saya di lapangan tanpa tatap muka padahal waktu itu sudah mau tutupan sales di bulan Maret. Di satu sisi, saya diberikan kewajiban untuk tetap sehat , tetapi di sisi yang lain perusahaan tetap menuntut saya untuk capai target which is logical di masa sulit ini. Hal yang paling penting team di lapangan membutuhkan saya. Dibandingkan stress dengan perubahan yang ada, saya memilih untuk mengganti mindset bahwa perubahan adalah hal yang normal dan perlu dalam kehidupan (growth mindset). Dr. Dweck telah meneliti bahwa ketika seorang siswa punya growth mindset, dia percaya bahwa dia bisa menjadi lebih pintar. Siswa itu sadar dan paham akan usaha yang diperlukan. Oleh sebab itu, dia memberikan waktu dan usaha lebih yang membuat pencapaiannya lebih baik dibandingkan yang lain. Teori ini pun sejalan dengan perubahan. Jika ada perubahan yang membuat kita sulit, jangan malah menyerah. Sebaliknya. Lakukan effort yang lebih agar kita bisa mendapatkan hasil yang lebih baik.

Sumber: mindsetworks.com

Dalam case saya sebelumnya, solusinya adalah dengan mengganti anggapan bahwa meeting harus dengan bertatap muka. Kita bisa coba meeting lewat microsoft teams. Kami coba adakan teams meeting dan ternyata berhasil (walaupun banyak kendala teknis, it takes effort and time but still okay). Untuk membuat meeting teams sebelumnya lebih impactfull, beberapa kali kami juga mengadakan meeting langsung di tempat terbuka dan pakai protokol kesehatan agar the feeling that i am there itu ada sehingga saya lebih mudah untuk motivate dan mendrive mereka.

No alt text provided for this image

Sumber: freepik

Faktanya, perubahan memang terjadi dimana-mana. Dalam bisnis, pasar bisa muncul dan menghilang kapan saja. Seperti dalam situasi Covid-19 pasar produk kesehatan seperti masker dan hand sanitizer tiba-tiba meledak yang awalnya tidak pernah direncanakan siapapun. Di bidang teknologi, Artificial Intelligence (AI) dan machine learning muncul dan secara cepat mengganti manusia dalam bekerja.

Baca juga: Gratis! Cara Akses LinkedIn Learning

Cara menumbuhkan growth mindset yaitu saat terjadi perubahan dalam hidup, kamu harus sadar kamu tidak sendiri dan dengan berusaha perubahan bisa dikendalikan. Daripada stress dengan perubahan, embrace it atau terima dulu. Menerima perubahan adalah skill. Kamu harus jujur pada diri sendiri, butuh refleksi, dan waktu.

“Change is one thing. Acceptance is another.” – Arundhati Roy from The God of Small Things

Mulailah dengan melepaskan pikiran negatif tentang perubahan apapun yang kamu rasakan. Lihat perubahan tersebut dalam frame yang lebih besar. Growth mindset!

2. Buat sudut pandang baru

Jika mindset adalah the ways we think maka sudut pandang adalah the way we see things. Pas ada sesuatu yang berubah dalam hidup kita, rasanya bisa sakit sekali. Hal yang kamu butuhkan sebenarnya hanya sudut pandang yang baru. Saat perubahan terjadi, hal yang pertama yang kamu harus lakukan adalah diam dan tenangkan diri. Kebanyakan keputusan menjadi salah karena dilakukan secara terburu-buru. Bahkan di masa covid 19 ini, keputusan yang salah berakibat fatal terhadap kehidupanmu. Jadi, pastikan tidak mengambil keputusan tanpa riset dahulu. Cari tahu apa yang terjadi dan kenapa. Seringnya, saat perubahan terjadi, emosi kita bergejolak sehingga mempengaruhi keputusan. Rahasianya, jangan menentukan keputusan besar dalam 2 hari. Pikirkan terlebih dahulu keluargamu. Biarkan emosi menjadi normal sehingga keputusanmu adalah keputusan yang tepat.

“Never be afraid to sit awhile and think.” – Lorraine Hansberry from A Raisin in the Sun

No alt text provided for this image

Sumber: freepik

Setelah itu, carilah bantuan atau saran dari guru, mentor, atau orang tua. Jangan takut atau malu karena kebanyakan perubahan hidup pernah juga dirasakan oleh mereka. Jika kita mendapatkan saran dari mereka, bisa jadi itu adalah saran yang lebih efektif agar kita tidak menjalani kesalahan yang sama saat perubahan terjadi.

Sudut pandang yang terakhir adalah dengan melihat perubahan hidup sebagai proses-proses kecil yang berkesinambungan. Jangan fokus ke puncak gunung, tetapi coba melihat jalan untuk mencapai puncaknya. Contoh, di tahun 2017, saya harus pindah ke Jawa Tengah karena pekerjaan saya menuntut untuk ditempatkan di sana. Masalahnya menjadi lebih mudah saat saya membagi perubahaan tersebut kedalam beberapa bagian. Pertama, tempat tinggal saya berubah sehingga saya perlu browsing kosan mana yang perlu saya sewa. Kedua, saya akan butuh barang-barang baru karena tidak mungkin semua barang dari rumah saya bawa. Ketiga, dalam pekerjaan baru saya perlu new skill untuk persiapan agar saya bisa lebih cepat beradaptasi nanti.

3. Bentuklah pertahanan diri terhadap perubahan

Orang-orang yang efektif menghadapi perubahaan cenderung memiliki ketahanan diri. Maksudnya, mereka sudah kuat dan terbiasa mengalami perubahaan serta memiliki kemampuan untuk pulih lebih cepat. Semua orang bisa menumbuhkan kemampuan ini. Kunci pertama adalah dengan melihat perubahan apapun dari sisi positif. Dalam keadaan sesulit apapun, kamu harus memilih keputusan untuk membuat keadaan lebih baik bukan lebih buruk.

No alt text provided for this image

Sumber: freepik

Step selanjutnya adalah dengan menyadari bahwa kita memiliki identitas yang lebih dari satu. Untuk memaksimalkan potensi ketahanan diri, kamu harus menjadi sesuatu yang lebih besar dari dirimu sendiri. Caranya, lihatlah dirimu sebagai orang-orang yang berbeda. Kamu adalah seorang pekerja, ayah atau ibu, guru, mentor, atau mungkin relawan.

Selanjutnya, cobalah untuk merenung sejenak dan menatap diri. Pikirkan hal-hal apa baik apa saja yang kamu miliki dan betapa beruntung diri kamu saat ini. Contoh seperti hal-hal simpel bahwa kamu memiliki tempat tinggal yang layak dan juga keluarga dan teman-teman berharga. Ketika kamu sering bersyukur terhadap hidup, kamu akan lebih mudah terdorong untuk berpikir lebih positif. Dua orang psychologist, Dr. Robert A. Emmons dari Universitas California dan Dr. Michael E. McCullough dari Universitas Miami telah banyak melakukan riset yang menunjukan bahwa orang yang sering bersyukur membuat mereka lebih cepat menyusun kembali fokus terhadap hidup (Sumber: Harvard Health Publishing).

“Gratitude is a way for people to appreciate what they have instead of always reaching for something new in the hopes it will make them happier, or thinking they can’t feel satisfied until every physical and material need is met. Gratitude helps people refocus on what they have instead of what they lack. And, although it may feel contrived at first, this mental state grows stronger with use and practice.”

Sumber: Harvard Health Publishing

Kemudian, langkah terakhir adalah dengan tetap ingat untuk menjaga diri sendiri. Walaupun pekerjaan kamu berat, banyak perubahan, dan banyak masalah, kamu harus ingat bahwa badanmu itu harus tetap dijaga. Kebanyakan orang sukses tidak bekerja 100% setiap waktu. Mereka menyisihkan sebagian waktunya untuk mengembalikan mental dan fisik yang capek setelah kerja. Sebagian dari mereka fokus diet kesehatan dan rutin berolahraga. Beristirahat juga sangatlah penting. Sebagian dari mereka juga bersantai dengan nonton film, bertemu sahabat, atau pergi liburan. In the end of the day, you should remember what is the most important things. Yourself.

No alt text provided for this image

Sumber: freepik

Surely with(out) Him, I Will Nor Be the Same

I have planned to write this thing since long time ago. This problem is like a hole in my heart and going bigger everyday. I never know what the feeling of having a brother as well as sister. My mother gave birth to me almost twenty-years ago and she never thought for having another baby. I do not know the reason. For almost two decades, I don’t have any chance to ask her. People always say that being the only one child in family is a blessing. But, what I fell so much everyday is loneliness.

However, some people in my life have given me kindness which create some kind of feeling. People probably call it as brotherhood. One of them is Kang Ai. I met him for the first time in Universitas Padjadjaran. He studied there and was helping for an event held by Departement Susastra in Fakultas Ilmu Budaya. After that, he often read books and writed his thesis on English Library in which I currently worked as librarian. He is nice and crazy. Celebrating our friend’s graduating, he wrote a big sentence in a big plain fabric by using spray paint. Then, we put in the written fabric on the second floor of B building so that everyone could see it. It is a kind of action which rarely did in here. At the result, the guard became angry and told us to take back the fabric. However, instead removed it, we moved the fabric to the front of English Library. Haha. It was crazy.

Going (back) to Makassar

Being graduated in Dipati Ukur, Kang Ai should go home. I remember when he order the ticket to Makassar via traveloka in English Library on August. I thought it was the last time I saw him. Strangely, several weeks later, I got an exchange program and it allowed me to study in Univesitas Hasanuddin, Makassar. Therefore, it is miracle I can meet him again.

(Re)united

In Makassar, I was a stranger, not having friends and family. For the first time in my life, I was really far away from home. Again, I feel the loneliness, an eternal enemy of mine. Fortunately, Kang Ai helped me to get rid of it. In the first week, he became a bridge and aid me to know students in Fakultas Sastra. Because of him, I am able to talk with students in Perisai, Perhimpunan Mahasiswa Sastra Inggris. Surprisingly, most of students from all departement recognized him. Thus, I got another friend from Sastra Jepang, Sastra Daerah, and Sastra Indonesia. At the time, I thought, to wash out the loneliness, what I need is friends, a lot of them.

Talking about Thesis

I have a problem since finishing my seminar on April 2015. There is not friend whom I am able to talk about fantasy. When I tried to start discussing about it, my friends did not understand what I am talking about. Even in family, my parents do not understand either. In Makassar, the problem became bigger because it was hard to communicate with both of my lecturers about my thesis. When I tried to read books about fantasy, what come in mind is confusion. It is suck being not understand what you read and cannot talk to someone about it. It seems that I am alone again. This loneliness is hurting! Yet, Kang Ai helped me leaving out from this situation. He often invited me to join the discussion in canteen. There, I was able to share my confusion although not much. He sometimes, gave some comments and asked several questions which oftenly made me realize about the problem in my thesis. In the end, he accompanied me going to the airport. Is it the feeling of having a brother?

Still, I don’t get the feeling of having siblings. However, I found an interesting poem about having a brother named My Brother written by  Vanessa Hernandez . It is probably true.

My Brother is so annoying
My Brother is so sad
My Brother drives me crazy
it makes me wanna go mad.

My Brother makes my father constantly yell
My Brother makes my mother cry
My Brother makes me wanna go die, sometimes…

My Brother is crazy
My Brother is nuts
Sometimes I want to grab him and choke him til’ he goes nuts

Someday I won’t have my brother
and I wish that day will never come

Because surely without him
I will nor be the same

 

Dayat dan Hujan

The day is cold, and dark, and dreary;
It rains,and the wind is never weary;
The vine still clings to the mouldering wall,
But at every gust the dead leaves fall,
And the day is dark and dreary

Dayat sedang berlari. Bajunya basah kuyub. Air-air menetes dari daun-daun di atas kepalanya. Sakit rasanya. Entah bagaimana kabar buku-buku dan novel Ibu yang sedang dibawanya dalam tas. Untung saja laptop dia tinggalkan di kamar. Malas dia bawa. Naik turun empat lantai saja sudah bikin capek, lebih capek lagi kalau bawa laptop.

Continue reading “Dayat dan Hujan”

Ambiguous Identity and Misunderstanding in the Invisible Man and the Buddha in Suburbia

Finally, I have finished another exercise in Politic of Narrative Methods class. In this essay, I tried to answer questions below addresing Identity problem in Ellison’s the Invisible Man and Kureishi’s the Buddha of Suburbia. Another essay regarding the narrative level can be seen as well in my previous post here. Have a good day.


How does the protagonist-narrator’s multifaceted Reinhart identity represent the unstable selfhood in his pre-invisible period? How is invisibility more secure and stable? What about Karim’s identity? In what ways do varied narrative strategies correspond to ambivalent and/or ambiguous identities?

How do circumstances of speech acts influence how utterances are understood? Consider the yellow-cur incident in Lord Jim and the invisible man’s “speak[ing] for you,” as well as the misunderstanding that occurs with Mr. Norton. Is there such an instance in The Buddha of Suburbia?


Continue reading “Ambiguous Identity and Misunderstanding in the Invisible Man and the Buddha in Suburbia”